Cricula trifenestrata Ulat Sutera Asli Indonesia

Industri sutera di Indonesia telah berkembang selama kurang lebih 91 tahun
(mulai dari tahun 1930-an sampai sekarang) (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama
perkembangan tersebut ulat sutera yang dibudidayakan adalah Bombyx mori yang
tergolong dalam famili Bombycidae. Banyak kendala yang dihadapi dalam budidaya
sutera ini, antara lain masih tergantungnya pasokan bibit ulat sutera berkualitas dari
luar negeri dan adanya hambatan klimatik (karena Bombyx bukan ngengat asli
Indonesia).

Selain Bombyx mori, ada jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera
yaitu Antheraea yamamai (dikembangkan di Jepang), Antheraea polypemu
(dikembangkan di Amerika Utara), Antheraea pernyi (dikembangkan di China),
Philosamia ricini (sutera eri dikembangkan di India), Antheraea mylitta (sutera tasar
dikembangkan di India), dan Attacus atlas. Indonesia memiliki potensi penghasil
sutera dari ulat sutera liar. Beberapa jenis ulat sutera liar yang daerah penyebarannya
ada di Indonesia adalah Cricula trifenestrata, Attacus atlas dan Antherea spp
(Paukstadt U & Paukstadt LH 2004) yang selama ini dianggap sebagai hama, ternyata
mampu menghasilkan benang sutera yang bernilai ekonomis. Dibandingkan dengan
Bombyx, ulat sutera liar asli Indonesia ini memiliki keunggulan yaitu relatif bebas
dari hambatan klimatik.

Salah satu jenis ulat sutera liar yaitu C. trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae) yang lebih dikenal dengan nama ulat kipat atau ulat alpukat, merupakan
ulat sutera yang bersifat polifag, menyukai berbagai jenis inang, seperti alpukat,
jambu mente, kayumanis, kedondong, mangga, kenari, coklat, kina dan beberapa
jenis tanaman lainnya (Kalshoven 1981; Holloway 1987). Di beberapa daerah seperti
di Yogyakarta dan sekitarnya serta Bali, kepompongnya mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Pupa diolah menjadi sumber nutrisi, sementara serat kokon dijadikan bahan
kerajinan seperti ornamen, kembang dan hiasan lainnya (Wikardi & Djuwarso 2000;
Purwanti 2005). C. trifenestrata dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang
menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih
berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa. Kokonnya
berbentuk seperti jaring (Kalshoven 1981) dan tidak berbau.




Post a Comment

Previous Post Next Post